Suatu malam, seorang penjual jamu
yang telah lima tahun menjanda
karena ditinggal mati suaminya
didatangi oleh anak perempuannya
yang sulung. Anak ini menyampaikan
bahwa besok adalah hari terakhir
pembayaran uang bangunan dan SPP.
Jika sampai besok tunggakan uang
bangunan dan uang sekolah tidak
dilunasi, dia akan dikeluarkan dari
sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut
mendengarnya. Sesaat, seolah dunia
menjadi gelap. Dia kebingungan dan
tak tahu harus berbuat apa. Ketika
keterkejutan mulai mereda, dia
diempaskan lagi oleh gelombang
kekagetan berikutnya ketika si anak
menyebutkan sejumlah angka sebagai
total tunggakannya.
Napas sang Ibu segera saja menderu,
keringat dingin mulai meleleh di
keningnya, tangannya gemetar, dan
suaranya menjadi lirih terputus-putus.
Yang dapat dia ucapkan hanya
mengulang nilai uang yang sudah
disebutkan anaknya.
Tanpa bisa memberikan janji muluk-
muluk kepada anak-nya, wanita
penjual jamu itu beranjak ke tempat
tidur untuk beristirahat sejenak. Akan
tetapi, alih-alih dapat tidur dengan
nyenyak, semakin dia mencoba
memejamkan mata, semakin gelisah
pula dia dibuatnya.
Ketika matanya rapat menutup, silih
berganti bayangan yang menakutkan
dan lintasan kejadian pada masa
depan yang suram tergambar di
benaknya bak sebuah film horor yang
terus-menerus menghantui.
Dia pun berusaha menenangkan diri
dengan membetulkan posisi tubuhnya
dan berkali-kali dia menarik napas
dalam dan mengembuskannya
panjang-panjang. Sedikit demi sedikit
otak-nya mulai dapat diajak berpikir.
Malangnya, setiap kali otaknya
mengalkulasi, setiap kali itu pula dia
merasa kepalanya dibenturkan ke
sebuah dinding baja. Dengan segala
macam tunggakan, utang di warung
sebelah, bahan baku jamu yang belum
terbayar semuanya, ketercukupan
kebutuhan pangan hanya untuk sehari
saja, dan beban harus membayar uang
sekolah anaknya seolah melengkapi
seluruh penderitaannya.
Hampir semalaman, dia takdapat
memicingkan matanya, kasur yang
tipis terasa semakin tipis. Kamar yang
pengap kini terasa semakin
membekap. Memang, dunia tak pernah
memberikan ampun kepada mereka-
mereka yang kalah.
Sepertiga malam yang penghujung pun
terlalui. Rasa letih pun pada akhirnya
mengalahkan semuanya. Setelah
gelombang kekalutannya beranjak
surut, akhirnya dia sampai pada
sebuah kesadaran bahwa kepasrahan
adalah satu-satunya jalan untuk
meringankan beban perasaan.
Apa sih, yang bisa dilakukan seorang
wanita lemah semacam dirinya. Dia
tidak punya apa-apa selain keinginan
untuk keluar dari permasalahan
tersebut. Dia pun sadar, hanya
Allahlah satu-satunya yang dapat
menolong. Ketika jajan sudah buntu,
ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak
ada lagi yang bisa dimintai
pertolongan selain Zat yang mengatur
segalanya.
Pada saat tetesan air mata yang jatuh
dari pelupuk matanya, dia bergumam
lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong
dari segala kesulitan ini. Tidak ada
yang bisa menjadi tempat bergantung
selain pada-Mu."
Dibelainya kepala sang Anak yang
tertidur di sampingnya perlahan.
Damai terasa menyergap bersama
dinginnya malam yang gelap. Dalam
lelah, si Ibu tertidur setengah
bertelekan di tepian ranjang kayu.
Tidur yang teramat singkat, tiga puluh
menit saja mungkin lamanya.
Ketika azan shubuh dari mushala
sebelah berkumandang, sang Ibu
merasa lebih segar. Pukul enam pagi,
dia sudah berkemas dan siap untuk
memulai berjualan dengan berjalan
kaki. Telombong segera dipondong,
botol-botol yang semula kosong kini
telah kembali tampil kinclong.
Dia telah membulatkan tekad untuk
menawarkan sebuah opsi kepada
seorang pelanggan setianya. Dia akan
mengajukan sebuah proposal, suplai
jamu terusan dengan setengah
pembayaran di muka, tentu saja untuk
membayar uang sekolah anaknya.
Singkat kata, dengan tutur kata yang
halus, disampaikanlah maksudnya.
Sayang, rencana manusia terkadang
berjalan takseirama dengan orkestrasi
semula. Maksudnya itu dipahami,
tetapi sang pelanggan tidak dapat
membantunya. Lunglailah badan si Ibu
penjual jamu itu.
Tak bersemangat lagi dia untuk
menghadapi hari itu yang baginya
terasa semakin mirip dengan neraka
dunia. Rasa putus asa itu memang
menghancurkan. Dia mengubah warna
dari semula yang bak bianglala
menjadi hegemoni tunggal hitam
belaka.
Namun, dengan sisa tenaga yang ada,
dia terus mencoba, dan akhirnya pada
rumah kelima, proposalnya diterima.
Tepat pukul dua, dia sudah duduk di
depan meja petugas tata usaha
sekolah anaknya. Enam lembar uang
lima puluh ribuan pun berpindah
tangan dan segera bertukar dengan
selembar kertas kuitansi. Selembar
kertas kumal yang baginya tampak
seindah Pulau Bali.
Barang siapa hatinya dihadirkan oleh
Allah kala berdoa, niscaya doa itu tidak
akan ditolak. (Yahya bin Mu'adz Ar
Razi)
Pengertian islam,artikel islam,dunia islam,suara islam,berita islam,sumber hukum islam,pendeta masuk islam
analyticstracking.php
Thursday, 21 August 2014
Cerita Inspirasi Muslim * Jamu Prabayar *
Labels:
Belajar Islam,
Cerita Sukses
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment