Ini adalah foto yang diunggah di
Solopos yang memperlihatkan sosok
anak kecil tengah tertidur pulas di
tempat terbuka sambil menggendong
bayi, yang menurut pemotret, adalah
adik si anak yang tertidur itu. Bocah
yang menghadap tabung bekas ayam
goreng itu menggendong bayi dengan
menggunakan kain. Ia lelap tertidur
kelelahan sambil bersandar pada
sebuah tiang besi di trotoar.
Foto yang diambil saat hari gelap itu
diunggah Tidy Giwangkara Dyaksa di
Facebook pada dini hari.
Kaki mungil bocah pengemis yang
penuh dengan debu jalanan seakan
menjadi saksi atas perjuangan
kerasnya mencari uang demi sesuap
nasi dari belas kasihan orang lain.
Lelapnya tidur bocah itu seakan
menjelaskan betapa lelah ia bekerja.
Tidy Giwangkara Dyaksa menjelaskan
foto itu ia ambil pada Senin
(30/6/2014), pukul 04.12 WIB, di
sekitar trotoar Pasar Palur
Karanganyar. Foto itu langsung
mendapat reaksi beragam dari
netizenbegitu dipublikasikan di Fans
Page Facebook Solopos.
Sebagian besar komentar
menunjukkan keprihatinan dan rasa
iba yang mendalam.
kemana kita selama ini?
Pengertian islam,artikel islam,dunia islam,suara islam,berita islam,sumber hukum islam,pendeta masuk islam
analyticstracking.php
Thursday, 3 July 2014
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un KEJAMNYA DUNIA - KEMANA KITA SELAMA INI?
Tuesday, 13 May 2014
Dunia Malam
Memang kami tak jrng d rumah atau
bersandar d tempat sendri., kami
juga sring pulang malam bahkan
pagi,, tapi itulah hobi kami,, itu lah
tempat hiburan hidup kami., tempat
kami mencri jati dri,, tempat kami
mencari teman sejati,, tempat kami
mengerti baek buruk hari",, tempat
kami Untuk menata hidup yg
murni.,Tempat kami mencari arti
hidup yg kami jalani., tempat kami
untuk mencri inspirasi,, tempat
kami Untuk menentkan suatu
pilihan yg berarti., dan itulah dunia
kami Saat ini.,
Seungkap Kata Dari Sahabat
Saturday, 10 May 2014
Ora Ngapak Dhupak!
Bahasa Jawa Banyumasan dalam
Sejarah, Identifikasi, dan Resistensi
Apakah Anda tertawa membaca judul
di atas? Tak apa. Tertawalah. Bahasa
dan dialek Jawa Banyumasan
memang selalu lucu terdengar di
telinga. Tapi pahamkah Anda maksud
dari “ora ngapak dhupak”?
Jika tak keliru, istilah tersebut
pertama kali saya temukan di sebuah
kaos seorang mahasiswa asal
Banyumas yang sedang menempuh
studi di salah satu universitas di
Yogyakarta. Dia seorang anggota
perkumpulan mahasiswa asal
banyumas, sama seperti mahasiswa
dari berbagai daerah luar Yogyakarta,
yang membentuk semacam komunitas
untuk sekedar kumpul sampai
melaksanakan program-program bakti
sosial.
Secara harfiah, “Ora ngapak dhupak”
diartikan menjadi “tidak ngapak
ditendang”. Maknanya beragam. Yang
bisa saya artikan adalah, jika Anda
berkomunikasi dengan pemilik kaos
tersebut dan Anda berasal dari
Karesidenan Banyumas—meliputi
wilayah Kabupaten Banyumas,
Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara,
Tegal, Brebes, Pemalang, bagian
barat Kebumen, serta bagian timur
dan pesisir Cirebon (Indramayu)—
Anda harus berbahasa Jawa
Banyumasan. Jika tidak, Anda akan
ditendang. Teman saya yang lain
(asal banyumas juga) bahkan lebih
ekstrem lagi. Baginya, dari Jawa
mana pun asal Anda; jika tidak bisa
memaklumi bahasa ataupun dialek
banyumasan yang ia pakai, jika Anda
tertawa karenanya, bahkan dipaksa
untuk sama-sama berbahasa Jawa
Timuran, berarti Anda adalah
musuhnya!
Terasa kental sekali kebanggaan akan
identitas Banyumasan yang orang
tersebut usung. Semangat primordial
naik. Bahkan cenderung “lebay” dan
ofensif, bukan?
Memang. Makna sesungguhnya dari
istilah tersebut memang cukup dalam.
Ia berasal dari sejarah yang kental
akan nuansa politik. Ia hasil
marjinalisasi sebuah kelompok
masyarakat atas kelompok
masyarakat lain berdasarkan stereotip
serta pemanfaatan media komunikasi
yang sedemikian arbitrer: bahasa!
Semua Gara-gara Mataram
Dinasti Mataram adalah dinasti orang
kebanyakan. Begitu menurut Drs. G.
Moedjanto, M. A. di bukunya, Konsep
Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh
Raja-raja Mataram . Pada zaman
kesultanan Pajang, dinasti Mataram
berhasil mengubah dirinya ke taraf
penguasa sebuah kadipaten atau
kabupaten, setaraf dengan kabupaten
lain seperti Jipang, Madiun,
Surabaya, atau Madura. Mataram
bersama keempat kabupaten tersebut
dan kabupaten-kabupaten lain di
tanah Jawa pada zaman Pajang
merupakan kerajaan di bawah Sultan
Pajang. Para bupati tunduk pada
Sultan Pajang sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di Jawa.
Ketika Pajang sedang mengalami
surut, pada tahun 1586 Sutawijaya
alias Senapati berhasil merebut
kekuasaan kerajaan. Mataram yang
semula berupa kadipaten naik
derajatnya menjadi kerajaan.
Berdirilah Kerajaan Mataram.
Kabupaten-kabupaten lain sejak saat
itu tunduk kepada Mataram. Di masa
itu pula awal mula arogansi Mataram
dalam meninggikan serta meluaskan
kekuasaannya.
Arogansi di bidang politik dan militer
mula-mula terlihat pada kebijakan
terhadap kabupaten-kabupaten bekas
kerajaan Pajang. Mereka yang tak
mau tunduk secara sukarela akan
diperangi Mataram lewat senjata.
Selanjutnya, setiap raja (terutama raja
yang menggeser kekuasaan raja
sebelumnya) terkait erat dengan
kepentingan para pengukuh dan
penjamin yang handal, yaitu VOC.
Dinasti Mataram selalu terlibat
pertentangan internal dan penuh
intrik, antara sesama anggota dinasti.
Dalam relasi kuasa antara kerajaan
dan masyarakat, dinasti Mataram
adalah “dinasti orang kebanyakan”,
artinya berasal dari masyarakat petani
biasa yang belum punya nama.
Sehingga untuk memperkokoh
kekuasaannya, dinasti Mataram
menggunakan gelar-gelar yang
semula dipakai oleh orang-orang
yang besar pengaruh kuasanya serta
punya nama. Misal, mereka memakai
gelar “Panembahan” (arti: yang
disembah) untuk raja-raja Mataram,
padahal gelar tersebut lazimnya
dipakai oleh para pemuka agama atau
para wali. Tujuannya adalah untuk
mengubah status sosial dinasti
Mataram, dari kelas yang diperintah
menjadi kelas yang memerintah.
Nah, upaya yang bercorak kultural
antara lain pengembangan sastra
babad dan pengembangan bahasa
Jawa dengan tatarannya ngoko-krama
(tingkat rendah atau kasar dan
tingkat tinggi atau halus). Dengan
kata lain, sastra dan bahasa
dikembangkan oleh Dinasti Mataram
sebagai alat pembangunan politik
hierarki atau politik strata.
Ada bermacam-macam fungsi
penggunaan unggah-ungguh bahasa,
yang paling utama ialah untuk
menciptakan jarak sosial antara
anggota Dinasti Mataram dengan
masyarakat biasa di luar lingkaran
dinasti kerajaan. Masyarakat biasa
diwajibkan memakai bahasa Jawa
Halus (tingkat tinggi) ketika
berkomunikasi dengan anggota
dinasti Mataram sebagai bentuk
pembedaan strata sosial: dinasti
Mataram selalu diatas masyarakat
biasa.
Patut digaris bawahi, bahwa sebelum
era Kerajaan Mataram berkuasa
unggah-ungguh bahasa Jawa belum
ada. Dinasti Mataram lah yang
mengembangkannya untuk keperluan
politis, yaitu alat konsolidasi
kedudukannya sebagai penguasa
baru.
Ngapakan? Malu ah..
Masyarakat di Karesidenan Banyumas
adalah korban politik strata Dinasti
Mataram yang menurut saya paling
termarjinalkan. Padahal yang akhirnya
berkembang menjadi dialek
Banyumasan dan Tegalan itu adalah
Bahasa Jawa kuno asli. Bahasa Jawa
tanpa stratifikasi ataupun hierarki.
Dalam sebuah artikel Kompas yang
dimuat pada tanggal 25 Juni 2012
berjudul “Ngapak Bukan Bahasa
Rendahan”, si penulis, Purnawan
Andra, mengutip pernyataan Ahmad
Tohari bahwa dialek Banyumasan
adalah turunan asli dari bahasa Jawa
Kuno. Sejak berabad lampau, bahasa
Jawa Kuno didominasi bunyi vokal
”a”, berbeda dengan bahasa Jawa
Yogya-Solo yang lebih didominasi
vokal ”o”.
Bahasa Jawa dengan vokal
”o” (Yogya-Solo) sengaja
dikembangkan Kerajaan Mataram
sejak akhir abad ke-16. Hal ini
ditandai dengan dipakainya taling
tarung (tanda baca untuk vokal ’o’
untuk huruf Jawa) dalam bahasa baru
tersebut. Sama seperti konklusi G.
Moedjanto, pengembangan bahasa
baru ini menurut Tohari adalah bagian
dari politik penguasaan yang
dilakukan Mataram terhadap wilayah
Banyumas pada masanya. Bahasa
dipolitisasi sedemikian rupa untuk
menciptakan kelas sosial dengan
menempatkan bahasa Jawa baru
(vokal ”o”) sebagai bahasa berkelas
tinggi.
Sarjadi H, kepala sekolah SMP N 5
Purbalingga dalam makalahnya untuk
Kongres Bahasa Jawa di Semarang,
15-20 Juli 1991, membuat daftar
contoh istilah bahasa jawa
banyumasan dari empat kabupaten
yang memiliki ciri khas masing-
masing:
Banjarnegara
Purbalingga
Purwokerto
Cilacap
Tape
tape
kenyas
Kenyas
Tompo
pithi
pithi
Pithi
Engkrak
pengki
cikrak
Cikrak
Wohe
owene
woheh
Woheh
Ketela
budin (boled)
budin
Budin
Dhesel
brangkal
brangkal
Brangkal
Dhuku
dhukuh
dhukuh
Dhukuh
Garing
intip
kerak
Kerak
Munthul
munthul
kleman
Munthul
Tak hanya bunyi vokal, perbedaan
antara bahasa Jawa dialek
Banyumasan dengan bahasa Jawa
Yogya-Solo juga terletak pada cara
ucapan dalam intonasi. Masih dalam
buku kumpulan makalah untuk
Kongres Bahasa Jawa, contoh Sarjadi
berikut ini mungkin akan
mengembalikan ingatan kita pada
pelajaran Bahasa Jawa waktu kecil
dulu:
Bahasa Jawa Banyumasan
Bahasa Jawa Yogya-Solo
Konsonan g, k, d, b, diucapkan keras
dan semangat (hard with aspirate)
Konsonan g, k, d, b, diucapkan lemah
tanpa semangat (soft without
aspirate)
- Kreteg : g tetap g
- Kreteg : g berubah jadi k
- Bapak : k tetap k
- Bapak : k hampir tak terdengar,
berubah seperti suara ain dalam
konsonan arab
- Jagad : d tetap d
- Jagad : d berubah jadi t
- Lembab : b tetap b
- Lembab : b berubah jadi p
Implikasinya adalah perbedaan
penulisan dalam bahasa Jawa
Carakan atau Dentawyanjaya (ha na
car a ka, dst) yang ditulis ke bahasa
latin. Jika dalam penulisan Carakan
‘grobag’ ditulis apa adanya dan
begitu pula pengucapan dalam
bahasa jawa Banyumasan, masyarakat
Yogya-Solo yang terbiasa
mengucapkan ‘grobak’ akan
menuliskannya juga sebagai ‘grobak’.
Begitu pula ‘reged’ yang keliru ditulis
‘reget’. Atau jika menyinggung
perubahan vocal ‘a’ menjadi ‘o’,
penulisan dalam bahasa Jawa ‘Sala’,
‘Wanasaba’, akan ditulis keliru
menjadi ‘Solo’ dan ‘Wonosobo’.
Kejujuran atas bahasa yang
ditampilkan masyarakat karesidenan
Banyumas, atau boleh lah kita
katakan masyarakat Ngapak
(Purnawan mengutip Budiono
Herusatoto dalam Banyumas: Sejarah,
Budaya, Bahasa, dan Watak (2008)
yang antara lain mengatakan bahwa
bahasa ngapak adalah istilah bahasa
Jawa Banyumasan yang dilansir para
priyayi wetanan yang berbahasa Jawa
mbandhek ), sesungguhnya
menunjukkan sikap egaliter dalam
komunikasi kesehariannya.
Purnawan Andra dalam artikelnya
menyebut sikap dan politik bahasa
dari keraton (Mataram) itu dilandasai
semangat dominatif. Mereka yang
dahulu menguasai wilayah Banyumas
dan sekitarnya mencoba
mengidentikkan bahasa Banyumas
sebagai bahasa kelas dua, bahasa
kawula alit . Padahal bahasa Jawa
kuno yang pada akhirnya nanti
berkembang menjadi dialek
Banyumasan dan Tegalan adalah
bahasa asli yang digunakan petani
dan pedagang (kelas bawah).
Purnawan ingin membuktikan bahwa
bahasa Ngapak bukanlah bahasa
rendahan. Keresahan Purnawan
berawal dari penutur bahasa Jawa
Banyumasan, terutama generasi
muda, yang terkesan tidak yakin
menggunakan dialek yang sering
disebut ngapak itu dalam
berkomunikasi. Bahasa Banyumasan
dianggap sebagai bahasa yang
”lucu”, pinggiran, bahkan dianggap
”rendahan”. Mengapa? Bukankah
sudah jelas jika bahasa Jawa
Banyumasan adalah bahasa Jawa
asli?
Purnawan menduga fenomena
tersebut bersumber dari akibat media
publikasi, seperti televisi, yang
memosisikan bahasa ngapak itu
sebagai bahasa dari kalangan ”babu”
atau pembantu rumah tangga. Kalau
bukan babu, peran pemakai bahasa
ngapak dalam drama FTV tak jauh-
jauh dari orang yang culun, polos,
ndeso, dan terkesan bodoh. Mereka
pun sebatas figuran atau pemeran
pembantu. Berbeda dengan peran
utama yang hampir selalu
menampilkan orang Jakarta yang
dikesankan gaul, lebih cerdas, serta
lebih modern.
Humor-humor slapstick yang
mengiringi peran-peran pembantu
tersebut, bagi Purnawan, menjadi
cara tidak sengaja yang turut
merendahkannya. Akibatnya, muncul
kesan bahasa ngapak adalah bahasa
(orang) yang kasar, tidak ”tinggi”,
dan tidak sopan sehingga kurang
pantas digunakan oleh mereka yang
merasa dirinya elite.
Sayang sekali. Hanya sebab stereotip
yang ditempel sembarangan atas
dasar relasi kuasa tersebut, teman
saya dari Cilacap tak pernah lagi
menunjukkan dialek ataupun bahasa
Ngapak selama ia tinggal di
Yogyakarta. Sampai sekarang. Bahkan
untuk komunikasi dengan saya ia
lebih memilih bahasa Indonesia,
meskipun sedari awal percakapan
saya memakai bahasa Ngapak.
Teman saya itu bisa jadi contoh
nyata betapa ia ingin
menyembunyikan identitas Ngapak-
nya rapat-rapat. Ia ingin
berkomunikasi serapi mungkin,
dengan menahan dialek
Banyumasannya ketika berkomunikasi
memakai bahasa Indonesia, misalnya.
Atau lebih memilih berbahasa
Indonesia walaupun tahu jika lawan
bicaranya berasal dari satu daerah,
satu bahasa ibu yang sama. Alih-alih
bangga, justru ia malu serta tak
percaya diri akan ke-ngapak-annya
itu..
Keengganan menjadi the other , liyan,
yang tak hanya dialami oleh teman
saya tersebut menurut Purnawan
selama ini secara laten dipakai untuk
membangun sebuah struktur hierarki
dari budaya yang dominan dan
marjinal, modern-etnik, global-lokal.
Tentu saja, budaya hierarkis semacam
itu sangat bertentangan dengan
multikulturalisme, semangat
partisipatoris dan emansipatoris yang
justru menjadi identitas dasar-dasar
budaya di Indonesia.
Dalam kajian post-kolonialisme,
relasi kuasa tak setara yang dibangun
Dinasti Mataram melahirkan dikotomi
hierarkis yang membuat masyarakat
Karesidenan Banyumas selalu
menjadi the other, liyan , objek
jajahan yang harus patuh kepada
dinasti: ia yang jadi subjek, ia yang
dalam posisi menjajah. Biarpun
Dinasti dan/atau Kerajaan Mataram
sekarang bertransformasi sedemikian
rupa di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang menjunjung
tinggi pluralisme dan
multikulturalisme, kondisi tak setara
tersebut tak serta-merta hilang.
Resisten!
Menariknya, mereka yang sadar akan
posisi dan keadaan tersebut
kemudian melakukan perlawanan.
Mereka resisten, dan mencoba
mengangkat kembali kebanggaan
sebagai orang Ngapak. Kasus kaos
“Ora Ngapak Dhupak” seperti paparan
saya di awal esai hanya lah salah
satu contoh.
Di Banjarnegara, baru-baru ini
muncul sebuah komunitas bernama
Godong Gedang Banjarnegara.
Komunitas ini berisi anak-anak muda
asli Banjarnegara yang berusaha
menghidupi Banjarnegara dengan
pelbagai kegiatan budaya dan seni,
terutama apa-apa yang khas
Banjarnegara. Mereka mengadakan
acara nonton bareng plus diskusi film
pendek di sekolah-sekolah,
mengadakan pertunjukan teater dan
tari (meskipun gedung kesenian
Banjarnegara belum berdiri),
mengadakan workshop kepenulisan
jurnalistik, membuat buletin, dan
beragam kegiatan lainnya. Anak-anak
muda itu bergerak atas sepinya
Banjarnegara disaat kabupaten lain
sedang hiruk pikuk berkembang.
Mereka ingin menyumbang sesuatu
dari daerah mereka, tentang daerah
mereka, untuk daerah mereka sendiri.
Choirul Fuad Yusuf adalah Kepala
Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kemenag RI. Beliau lahir di Ajibarang,
Banyumas, 13 Desember 1954. Sejak
2011, lulusan Program Doktor
Sosiologi FISIP UI 2004-2007 ini
membawahi proyek Kemenag
menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa-
bahasa daerah. Salah satunya adalah
terjemahan Al-Qur’an ke bahasa
Banyumas.
Menurut Choirul terjemahan tersebut
bisa menjadi sarana warga
masyarakat karesidenan Banyumas
lebih mudah mempelajari Al-Qur’an.
Lebih memahami, lebih mengerti, dan
lebih disyukuri lagi jika bisa
mengamalkan isinya. Choirul
berangkat dari fakta di lapangan jika
banyak komunitas di daerah pemakai
bahasa Banyumasan yang tidak
memakai bahasa Indonesia, apalagi
bahasa Arab, untuk ngaji Al-Qur’an.
Dan dalam melaksanakan tugasnya,
Choirul dibantu sebuah tim yang
terdiri dari ahli hadis, ahli tafsir,
sampai budayawan yang dianggap
sebagai ahli bahasa Banyumas:
Ahmad Tohari.
Ahmad Tohari mungkin sosok asal
Banyumas yang paling dikenal di
kancah kesusastraan nasional. Ahmad
Tohari adalah seorang ngapak tulen
kelahiran Tinggarjaya, Jatilawang,
Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni
1948. Dalam dunia jurnalistik, Ahmad
Tohari pernah menjadi staf redaktur
harian Merdeka, Majalah Keluarga dan
Amanah. Pernah juga menulis untuk
Tempo, Suara Merdeka, dan menjadi
editor Harian Merdeka.
Dalam karier kepengarangannya,
penulis yang berlatar kehidupan
pesantren ini telah melahirkan banyak
cerita pendek serta beberapa novel
dan. Ada Nyanyian Malam, juga
Senyum Karyamin. Untuk novel antara
lain Bekisar Merah, Belantik, Mas
Mantri Gugat, dan Lingkar Tanah
Lingkar Air. Trilogi ”Ronggeng Dukuh
Paruk” telah terbit dalam edisi
Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris.
Tahun 1990 pengarang yang punya
hobi mancing ini mengikuti
International Writing Programme di
Iowa City, Amerika Serikat dan
memperoleh penghargaan The Fellow
of The University of Iowa.
Ronggeng Dukuh Paruk, terbit tahun
1982, berkisah tentang pergulatan
penari tayub di dusun kecil, Dukuh
Paruk, Banyumas, pada masa
pergolakan komunis. Karyanya yang
memakai narasi bahasa Indonesia dan
percakapan dengan bahasa Jawa
Banyumasan ini dianggap kekiri-
kirian oleh pemerintah Orde Baru,
sehingga Tohari diinterogasi selama
berminggu-minggu. Hingga akhirnya
Tohari menghubungi sahabatnya Gus
Dur, dan akhirnya terbebas dari
intimidasi dan jerat hukum.
Bagian ketiga trilogi, berjudul Jantera
Bianglala, diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dan cuplikannya
dimuat dalam Jurnal Manoa edisi
Silenced Voices terbitan Honolulu
University tahun 2000, termasuk
bagian yang disensor dan tidak
dimuat dalam edisi bahasa Indonesia.
Hingga akhirnya ketiga novel dari
triloginya itu diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan judul The
Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi
ini juga difilmkan oleh sutradara Ifa
Irfansyah dengan judul “Sang
Penari” (2011). Pada bulan Desember
2011, Ahmad Tohari mengungkapkan
bahwa dirinya berencana untuk
melanjutkan Triloginya menjadi
Tetralogi dengan membuat satu novel
lagi.
Apa saja penghargaannya? Cerpennya
berjudul Jasa-jasa buat Sanwirya
mendapat Hadiah Hiburan Sayembara
Kincir Emas 1975 yang
diselenggarakan Radio Nederlands
Wereldomroep. Novelnya Kubah
(1980) memenangkan hadiah Yayasan
Buku Utama tahun 1980. Ronggeng
Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus
Dini Hari (1985), Jentera Bianglala
(1986) meraih hadiah Yayasan Buku
Utama tahun 1986. Novelnya Di Kaki
Bukit Cibalak (1986) menjadi
pemenang salah satu hadiah
Sayembara Mengarang Roman Dewan
Kesenian Jakarta tahun 1979. Pada
1995 Ahmad Tohari menerima Hadiah
Sastra ASEAN, SEA Write Award. Dan
sekitar tahun 2007 Ahmad Tohari
menerima Hadiah Sastra Rancage.
Sebagai seorang sastrawan, Ahmad
Tohari dikagumi karena kecintaannya
pada budaya Banyumasan. Tohari
seperti Purnawan Andra. Ia juga
menyorot kecenderungan masyarakat
Banyumasan sendiri yang cenderung
menurun rasa bangganya akan dialek
dan bahasa asli-nya sendiri. Bahwa
menurutnya, budaya Banyumasan
harus dihidupi, entah dari bahasa
maupun yang lain. Maka sebagai
sastrawan berskala nasional dia pun
memilih untuk tinggal di rumah
kecilnya di Banyumas, tidak latah
untuk kemudian terus menetap di
Jakarta.
Bersama kawan-kawan dia
menerbitkan majalah Ancas. Jika
Anda akrab dengan Panjebar
Semangat , Ancas memiliki format
yang sama, namun dengan bahasa
Jawa Banyumasan. Ancas terbit sejak
6 April 2010 oleh Yayasan
CARABLAKA. Sesepuhnya terdiri dari
para bupati 4 kabupaten (Banyumas,
Cilacap, Purbalingga, dan
Banjarnegara) plus Prof. Ir. Eko
Budihardjo, M. Sc. Tohari sendiri
memegang jabatan sebagai Pemimpin
Redaksi.
Ancas terbit setiap bulan dan
membawa wacana maupun berita
seputar karesidenan Banyumas.
Selain berita event, di rubrik
Klangenan mengupas tradisi dan
budaya masyarakat di karesidenan
Banyumas. Ada rubrik khusus sastra
bernama Gosek Sastra Banyumasan.
Selain itu ada rubrik Cerkak untuk
cerpen.
Banyak pihak yang mengapresiasi
terbitnya Ancas ini. Namun di akhir
tahun 2013 Ancas mendapat batu
sandungan dengan beredarnya rumor:
Ancas tak akan terbit lagi karena
terkendala pendanaan.
Rumor itu terang dalam tajuk rencana
Ancas edisi 45 Tahun IV Desember
2013. Dr. H. Pudjo Sumedi AS, SE, M.
Ed, Pemimpin Umum Ancas
menuturkan pengalamannya bersama
rekan-rekan seperjuangan di balik
dapur redaksi selama 4 tahun
bersama-sama mengusahakan Ancas
harus terbit tiap bulan. Benar jika
Ancas susah payah menutupi ongkos
cetak. Salah satu penyebabnya ialah
guru-guru mulai banyak yang
memutuskan untuk berhenti
berlangganan Ancas. Hal tersebut
mengindikasikan Ancas mulai
kehilangan pembaca setianya. Bukan
tak mungkin pula, masyarakat di
karesidenan Banyumas sendiri
banyak yang kurang berminat dengan
majalah (sejenis) Ancas. Lebih
nyaman dengan yang berbahasa
Indonesia, atau bahkan bahasa asing.
Menanggapi masalah tersebut, Ahmad
Tohari hanya bisa berujar, “ Pokoke
angger Ancas ora ana sing gelem
nulungi, ya kudu tetep terbit tekan
wulan Maret 2014, genep patang
taun.” “Jika Ancas tak ada yang
mendanai, harus tetap terbit sampai
bulan Maret 2014 biar genap empat
tahun”.
Pudjo Sumedi sendiri tak pernah
meminta bayaran atas jabatannya
sebagai PU. Ahmad Tohari mengakui
jika sudah lama ia tidak menerima
gaji. Bahkan beliau pernah
menggadaikan BPKB mobilnya untuk
berhutang demi ongkos terbit. Para
awak media Ancas rela gajinya
dipotong. Gara-gara tak ada
pengusaha yang mau mengiklan.
Bagaimana prahara tersebut berubah
jadi kenyataan atau tidak ke
depannya, toh Majalah Ancas masih
terbit di Bulan Maret 2014 dengan
headline “Nyoblos blossss…”. Isinya
seputar anjuran untuk memilih
pemimpin baru di bulan Juni nanti.
Ada rubrik-rubrik baru. Dan yang jadi
angin segar, tak ada kata-kata
perpisahan atau yang menyinggung
perihal penutupan Ancas di tajuk
rencana.
Semacam Penutup
Jadi. Masihkah anda tertawa
membaca judul tulisan ini?
Dari banyak filosof sampai psikolog,
sudah banyak yang mencoba meneliti
makna dari tawa. Aristoteles dan dan
Sigmund Freud mengindikasikan
orang lain akan terkejut ketika
terpapar suatu lelucon. Humor adalah
seni mengejutkan orang lain. Plato
menganggap humor timbul karena
keanehan atau hal negatif yang ada
atau terjadi pada orang lain. Humor
butuh objek penderita, dan ia adalah
kemenangan pihak satu pada pihak
yang lain. Ahli lain seperti Arthur
Kostler, Borges, dan Aldous Huxley
memaknai humor sebagai alat untuk
menyalurkan muatan sifat agresif-
defensif dalam diri manusia agar
ketika diekspresikan tidak berubah
destruktif. Nah, dari beragam motif
tersebut, anda termasuk yang mana
ketika tertawa mendengar seseorang
berbicara dalam bahasa atau dialek
Ngapak?
Saya pribadi sejak dulu masih susah
menjawab pertanyaan tersebut. Saya
sebagai orang Banjarnegara yang
sudah tinggal hampir 4 tahun di
Yogyakarta tak pernah sekalipun
tertawa mendengar orang Jogja, atau
mereka yang berasal dari Jawa Timur
berbicara. Ketika pemahaman saya
tentang sejarah bahasa Banyumasan
terbuka, saya sempat merasa
tersinggung berat ketika ada yang
menertawakan bahasa atau dialek
saya.
Namun, pengalaman saya berjumpa
dengan orang-orang Thailand
pertengahan 2013 lalu membuat sikap
saya berubah. Ketika saya
menertawakan bahasa dan dialek
warga Thailand, yang menurut saya
pribadi memang lucu dan aneh, saya
tidak sampai terpikir asal-usul
terbentuknya bahasa dan dialek
Thailand. Apalagi sampai dihubung-
hubungkan dengan bahasa dan
kebudayaan negeri sendiri. Bahasa
dan dialek mereka cuma lucu. Itu
saja. Saya tak bisa menjelaskan
kenapa. Seperti saat anda tak bisa
mendefinisikan kenapa anda tertawa
ketika mendengar bahasa atau dialek
Jawa Banyumasan.
Dalam buku Fenomenolaugh , Taufik
Nurhidayat dalam esainya yang
berjudul “Memahami Guyonan Rasis”
menyatakan pesan perdamaian
melalui guyonan ala Ngapak. Ia
sendiri, sebagai penulis asal Cilacap,
tak pernah bermasalah dengan
teman-temannya yang menertawakan
logat ataupun bahasa Taufik. Ia malah
menjadikan fenomena tersebut alasan
penambah keakraban, sebab beberapa
dari temannya itu tertarik untuk
belajar kosakata Ngapak dan budaya
masyarakat Banyumas.
Yang saya sayangkan justru yang
melampaui tawa itu sendiri: stereotip,
label, sampai stigma jika bahasa dan
dialek Ngapak itu (seperti penuturan
Purnawan Andra) rendahan. Dan saya
sepakat dengan Purnawan di akhir
esainya: penting sekali
mengembalikan rasa percaya diri itu,
antara lain, dengan mengembalikan
bahasa ngapak sebagai modus
komunikasi utama dan terbaik para
penuturnya. Sebab, sekali lagi, bukan
bahasa yang menjadi masalah,
melainkan sebenarnya politik yang
bermain di belakangnya.
Angger ora diopeni wonge dhewek,
sapa maning jajal?
Wednesday, 23 April 2014
Hidup ini seperti permainan angrybird
Mereka tidak mengerti dengan apa yang saya bicarakan.Tidak mengerti betapa Besar peluang di luar sana.Begitu banyak mimpi saya yang belum tercapai.
Mereka hanya bisa mencerca dan menertawakan dengan bangganya.Yah mungkin memang begitu naluri manusia sebenarnya.Selalu senang melihat orang lain menderita,karena merasa dirinya paling beruntung.
Itu sih menurut pemikiran saya sendiri.Bagaimana menurut teman-teman?
Tapi saya yakin "Hidup Ini Seperti Permainan Angry
Bird"
Kalau kita mandarat kemudian
tidak mengenai sasaran, selalu saja
babi menertawakan.Bahkan kena" pun,tetap saja babi lain menertawakan.
Paling jengkel kalo sudah lempar 3 kali tetap saja tidak jatuh semua babi-babi jelek itu....Babi Besar akan menertawakan dengan screenshoot wajah jelek+ngoloknya,bukan begitu??
Walaupun begitu saya akan tetap semangat kawan.Saya akan coba menikmati tiap level tingkat hidupku seperti saya menikmati permainan Angry Bird :)
Saya akan coba meraih mimpi-mimpi saya yang belum terwujud.Menunjukan pada babi-babi jelek bahwa saya bisa.
Ya mungkin saya belum bisa membuktikan sekarang.Tapi saya yakin BISA.
Dengan begitu saya akan bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
SEMOGA :)
Inarsim.blogspot.com
Tuesday, 22 April 2014
Adab Seorang Isteri Terhadap Suami
“Dunia (hidup di dunia ini) adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan di dunia ini adalah istri yang baik (sholehah).” (Shahih Muslim, Kitab 14, Bab 17, Hadits No.1467). Ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh seorang istri yang shalehah di dalam keluarga, termasuk pergaulannya terhadap suami. Beberapa hal tersebut adalah: 1. Menjadi seorang istri yang baik adalah sedemikian penting sehingga dari titik pandang Islam, seorang istri yang baik dipandang sebagai sesuatu yang paling baik di dunia. 2. Peranan perempuan dalam rumah tangga sangat penting. Sesungguhnyalah ia merupakan faktor penentu. 3. Istri harus melakukan yang terbaik untuk menjaga agar suaminya tetap senang kepadanya. 4. Istri ideal harus memadukan 3 hal: Ia dapat membahagiakan suaminya bila suami melihatnya, dengan cara merawat diri agar selalu tampil cantik di depan suami. Ia harus taat dan tidak menentang keinginan suaminya baik menyangkut diri sang istri atau harta bendanya dengan melakukan sesuatu yg dicela olehnya. 5. Menolak tidur bersama suaminya ketika ia mengajaknya tidur adalah kesalahan besar yg harus dihindari. 6. Jika sang istri berniat untuk puasa sunnah, ia boleh melakukannya setelah ada izin dari suaminya. Jika tidak ada izin suaminya, maka suami berhak membatalkan puasa yang sedang dijalaninya. 7. Adalah kewajiban seorang istri untuk tidak mengizinkan seseorang, yang tidak diinginkan suaminya, untuk masuk ke dalam rumah tanpa izin darinya. 8. Istri tidak boleh memberikan sesuatu yang mungkin hak milik suaminya tanpa perkenannya. 9. Seorang istri tidak patut meminta dari suaminya uang tambahan atau apa yang ia tidak miliki atau tidak mampu memberikannya, dan ia harus menunjukkan rasa terima kasih atas apapun yang telah suaminya berikan. 10. Seorang istri harus mengakui bantuan apapun yang diberikan suaminya di dalam rumah. 11. Istri yang baik adalah ia yg taat pada perintah suaminya jika ia memintanya melakukan sesuatu. 12. Saat suami pulang ke rumah, istri harus menyambutnya dengan ramah dan menemuinya dengan penampilan yang baik dan cantik. 13. Istri tidak mengabaikan kebutuhan-kebutuhan suaminya atau melalaikan tuntutannya. Semakin seorang istri memperhatikan suaminya, maka semakin besar pula timbul rasa cinta suami padanya. Kebanyakan para suami – secara faktual, memandang perhatian sang istri pada mereka sebagai satu ekspresi dari cintanya. 14. Seorang istri harus hati-hati dalam menyampaikan persoalan-persoalan keluarga, atau mengadu padanya tentang anak-anak, dll. Terutama menyampaikan sesuatu disaat suami sedang kelelahan..tapi carilah saat-saat yang tepat dan rilex. Istri juga harus berupaya menciptakan suasana damai yang dibutuhkan suaminya. 15. . Bagi seorang istri yang menghormati kerabat dekat suaminya dan memperlakukan mereka dengan ramah adalah –sesungguhnya – merupakan tanda penghargaan dan hormat bagi suaminya. 16. Seringkali meninggalkan rumah adalah suatu kebiasaan buruk bagi perempuan. Ia juga tidak boleh meninggalkan rumah jika suaminya keberatan ia berbuat demikian. 17. Istri tidak boleh bercengkrama dengan laki-laki asing tanpa mengindahkan keberatan suaminya. 18. Istri harus penuh perhatian terhadap suaminya pada saat ia berbicara. 19. Seorang istri tidak berhak meminjamkan sesuatu dari harta suaminya yang bertentangan dengan keinginannya. Tetapi ia boleh meminjamkan hak miliknya sendiri. 20. Menuntut perceraian dari suami tanpa alasan yang kuat adalah Terlarang..!! 21. Jika seorang teman suami bertanya tentang dia, ia boleh menjawabnya tetapi tanpa harus terlibat dalam percakapan panjang lebar. 22. Terlalu banyak berargumentasi dan berdebat dengan suami, menghitung-hitung kesalahan suami, sebenarnya hanya akan menumbuhkan kebencian dan memperburuk hubungan. 23. Memelihara rumah dan menjalankan tugas-tugas rumah tangga adalah menjadi tanggung jawab istri. Oleh karena itu ia harus mengerjakan tugas-tugas merawat rumah, perabot rumah tangga dan lain-lain dan juga harus hemat. 24. Seorang istri tidak boleh memberi sedekah dari harta suaminya tanpa seizinnya. 25. Menceritakan pada orang lain mengenai masalah-masalah Hubungan Suami Isteri adalah merupakan dosa menurut Islam. 26. Seorang istri tidak perlu takut menyatakan cinta dan kasih sayang terhadap suaminya. Hal itu akan menyenangkan hatinya. Jika ia tidak menemukan cinta dan kasih sayang di rumahnya, mungkin ia akan terdorong untuk mencari hiburan dimana saja, di luar rumah. 27. Kepemimpinan dalam keluarga adalah menjadi hak suami. Bagi perempuan yang menuntut persamaan hak dengan suaminya, akan berakibat adanya dua pemimpin dalam keluarga dan ini tidak dikenal dalam Islam.Tetapi suami tidak boleh bertindak dengan cara otokratis dan menyalahgunakan posisinya. Ia harus memperlihatakn cinta dan kasih sayangnya, memperlakukan istrinya sebagai partner hidup. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir). Wallahua’laam Jadilah engkau satu titik cahaya, Namun mampu menerangi gelapnya hati seorang suami dalam mengarungi perjalanan hidup. Berusaha menjaga keutuhan dalam waddah pernikahan. Bersabar akan segala masalah yang menghampiri dan bersyukur atas segala rezeki yang didapat….Keep Istiqomah.. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala. senantiasa menunjukkan kepada kita sesuatu yang di Ridhai dan di Cintai-Nya.. Aamiin ya Rabbala’alamiin.
http://manchunesia.blogspot.com/