analyticstracking.php

Friday, 13 June 2014

Sudah Benarkah Cara Kita Mengajarkan Shalat pada Anak?


SHALAT adalah ajaran dan amalan
terpenting dalam Islam. Shalat juga
satu-satunya kewajiban dalam
Islam yang wajib diperintahkan
kepada orang yang belum wajib
melakukannya. Adalah Rasulullah
saw yang mengisyaratkan hal itu.
Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud,
Ad-Daruquthni, Al-Hakim, Baihaqi,
dan Ahmad, Rasulullah saw
menegaskan, “Suruhlah anak-anak
kalian untuk shalat bila mereka
telah berumur 7 tahun. Pukullah
mereka karena tidak shalat bila
telah berumur 10 tahun.
Pisahkanlah mereka dari tempat
tidur kalian.”
Dalam Islam, usia minimal baligh
adalah 9 tahun. Setelah mencapai
usia ini, maka seorang anak telah
dinilai dewasa dan mandiri di
hadapan Allah swt. Seluruh tingkah
laku dan amal perbuatannya
menjadi tanggung jawabanya
sendiri. Dia mulai menorehkan
pahala untuk kebaikan yang
dilakukannya, dan dosa untuk
maksiat yang diperbuatnya.
Namun berkenaan dengan perintah
shalat, hadits di atas menyebut
angka 7 tahun sebagai permulaan
pembelajaran shalat. Dengan kata
lain, shalat wajib diajarkan kepada
anak-anak kecil yang belum baligh,
minimal ketika mereka sudah
menginjak 7 tahun. Kewajiban
mengajarkan shalat kepada anak
yang belum wajib melakukannya
menunjukkan betapa pentingnya
shalat dalam kehidupan seorang
muslim. Shalat wajib diajarkan
meskipun belum wajib dikerjakan.
Lalu bagaimana shalat seharusnya
diajarkan? Merujuk pada hadits
shalat di atas, maka pembelajaran
shalat dapat diurutkan ke dalam
tiga fase, yaitu fase 0 – 7 tahun,
fase 7 – 10 tahun, dan fase 10 –
dewasa.
Fase 0 – 7 tahun
Fase ini merupakan fase yang
sangat menentukan dalam
pembelajaran shalat. Target
pembelajaran pada fase ini adalah
mengenalkan shalat kepada anak,
dan mengenalkan kepada siapa
shalat dilakukan. Sebagai fase
pengenalan, pembentukan motivasi
adalah porsi terbesar yang harus
diberikan kepada anak.
Pada tahap inilah motivasi-motivasi
spiritual kepada anak ditanamkan.
Selain mengenal shalat, dengan
motivasi spiritual anak juga akan
mengenal Allah swt yang kepada-
Nya shalat dilakukan. Pada tahap
ini anak belum diberi hukuman bila
tidak shalat, sebab kalau pun tidak
shalat anak belum dinilai berdosa
atau membangkang terhadap Allah
swt.
Hal-hal yang perlu dikenalkan
mengenai shalat kepada anak
dimulai dari adanya ibadah shalat
dalam Islam, nama-nama shalat,
waktu shalat, bilangan rakaat
shalat, tempat shalat, dan tata-cara
shalat. Pengenalan ini adalah upaya
membentuk kesiapan anak sehingga
ketika dia mencapai usaia 7 tahun
dan mulai diperintah shalat, anak
sudah memiliki kesiapan secara
mental dan emosional. Dengan
demikian perintah shalat pada fase
itu, bukan lagi sebatas doktrinasi
yang otoriter, namun penyadaran
akan motivasi yang telah dibangun
selam 3 – 4 tahun lamanya.
Namun demikian, yang terpenting
harus dikenalkan sejak dini kepada
anak pada fase ini adalah jawaban
dari mengapa harus shalat dan
kepada siapa shalat
dipersembahkan. Melalui metode
dialog yang penuh keakraban anak
dikenalkan tentang peranan-
peranan Allah swt dalam hidupnya.
Bahwa Allah swt adalah
penciptanya, yang memberinya
anggota tubuh lengkap, yang
menjaganya dari bencana, yang
memberinya rejeki sehingga bisa
makan, minum dan berpakaian,
merupakan kata-kata kunci
mengenalkan Allah swt pada anak.
Selanjutnya shalat dikenalkan
kepada anak sebagai ungkapan
terima kasih kepada Allah swt yang
telah begitu baik kepadanya. Shalat
adalah kendaraan yang akan
membawa anak bertemu Allah swt,
seperti juga dia berkendaraan mobil
untuk bertemu dengan keluarga
atau tempat yang disenanginya.
Kalimat-kalimat tersebut adalah
contoh bagaimana shalat
dikenalkan kepada anak sebagai
sesuatu yang perlu dan menarik
untuknya. Kalimat-kalimat dialog
ini dapat dikembangkan dengan
memperhatikan pola pikir dan
perkembangan mental anak.
Karena fase ini lebih berorientasi
pada pengenalan shalat maka
motivasi materil, intimidasi, dan
hukuman sangat penting untuk
dihindari dan dijauhkan dari
pembelajaran shalat kepada anak.
Motivasi materil seperti shalat lah
nanti Ayah beri uang, Ayo shalat
nanti Ibu belikan mainan, dan
sejenisnya akan merusak
pemahaman anak tentang shalat.
Motivasi seperti ini sangat
berbahaya bagi anak, karena bukan
spiritualisasi yang dibangun,
melainkan materialisasi. Begitu
pula mengintimidasi anak dengan
hukuman atau bahkan
menghukumnya karena tidak shalat,
akan berakibat pencitraan shalat
sebagai beban berat dan
menakutkan bagi anak. Dialog dan
pengenalan, adalah kata kunci pada
fase ini.
Bagaimana bila dengan dialog dan
pengenalan itu, anak tidak serta
merta melakukan shalat? Harus
diakui masih banyak orang tua
yang memiliki pola pikir instan dan
menempuh cara-cara yang instan
pula. Mengadopsi istilah dalam
pembelajaran bahasa, setiap anak
akan mengalami sebuah proses
yang disebut dengan silent periode
atau masa sunyi.
Pada masa sunyi ini anak
menangkap informasi,
menyimpannya dalam ingatan, dan
mengolahnya menjadi sebuah
konsep, dan mengubahnya menjadi
sebuah potensi. Setelah masa ini
terlewati, maka anak akan masuk ke
dalam periode bunyi, di mana dia
mulai menunjukkan respon
terhadap motivasi yang telah
diterimanya.
Konsep silent periode dapat juga
dianalogikan dengan menyiram
bunga. Bunga yang disiram tidak
serta merta memunculkan bunga
atau langsung mekar, melainkan
diisapnya dulu air siraman itu,
diendapkan dan diolah menjadi
energi. Selang beberapa hari,
barulah berbunga, mekar, dan
menebar pesona.
Seperti itulah seharusnya
pembelajaran shalat kepada anak
dipahami. Dalam konteks
pembelajaran shalat, dialog dan
pengenalan itu akan berbekas
dalam diri anak untuk masa
depannya. Anggaplah fase 0 – 7 ini
adalah silent periode anak dalam
mengenal dan memahami shalat.
Bersabar dan berpikir positif
tentang anak akan sangat
membantu orang tua dalam
menjalani periode ini.
Dengan pengenalan dan motivasi
spiritual sebagai target
pembelajaran, maka penguasaan
fiqih shalat tidak menjadi ukuran
komitmen anak terhadap shalat.
Dalam fase ini sangat mungkin cara
anak shalat masih sangat kacau,
jauh dari tata cara shalat yang
benar. Hal seperti ini tidak lah
menjadi masalah sebagai upaya
pengenalan. Pada fase ini, sekadar
mau shalat saja sudah merupakan
prestasi anak yang patut
diapresiasi. Pengenalan fiqih shalat
yang terlalu dini, apalagi dengan
pendekatan yang kaku dan
instruktif, malah akan membuat
anak resistan terhadap ajakan
shalat. []

No comments:

Post a Comment