analyticstracking.php

Monday, 7 July 2014

Haram Mengucapkan Selamat Natal Bagi Seorang Muslim


Menurut fatwa MUI, mengikuti
upacara Natal bersama bagi ummat
Islam hukumnya haram dan agar
umat Islam tidak terjerumus kepada
syubhat dan larangan Allah Swt
dianjurkan untuk tidak mengikuti
kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
Silang pendapat (khilafiyah) terjadi
di kalangan ulama kontemporer.
Ada yang mengharamkan dengan
dalih hal itu merupakan masalah
akidah –mengucapkan selamat
berarti menyetujui akidah/
keyakinan mereka. Ada pula yang
menyebutnya mubah (boleh)
dengan alasan hal itu merupakan
masalah “mu’amalah” (hubungan
sosial).
Pendapat terkuat adalah tidak boleh
bagi seorang Muslim mengucapkan
Selamat Natal, juga haram
mengadiri perayaannya (memenuhi
undangan perayaan Natal). Kaum
Musim cukup dengan menghormati
mereka yang merayakannya dengan
tidak mengganggunya.
Yang Membolehkan
Ulama yang membolehkan
mengucapkan Selamat Natal, di
antaranya Syeikh Yusuf Al-
Qaradhawi. Ulama asal Mesir yang
kini tinggal di Qatar ini
berpendapat:
“Perubahan kondisi global
menjadikanku berbeda dengan
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
mengharamkan pengucapan selamat
hari-hari agama orang-orang
Nasrani atau yang lainnya. Aku
(Yusuf al-Qaradhawi) membolehkan
pengucapan itu apabila mereka
(orang-orang Nasrani atau
nonmuslim lainnya) adalah orang-
orang yang cinta damai terhadap
kaum muslimin, terlebih lagi
apabila ada hubungan khsusus
antara dirinya (nonmuslim) dengan
seorang muslim, seperti kerabat,
tetangga rumah, teman kuliah,
teman kerja dan lainnya.”
Dari Indonesia, cendekiawan Prof.
Dr. Sofjan Siregar, MA berpendapat:
“Mengucapkan selamat Natal oleh
seorang muslim hukumnya mubah,
dibolehkan. Mengucapkan selamat
Natal adalah bagian dari
mu’amalah, non-ritual. Pada
prinsipnya semua tindakan non-
ritual adalah dibolehkan, kecuali
ada nash ayat atau hadits yang
melarang.”
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah, Prof DR HM Din
Syamsuddin MA, mengaku terbiasa
mengucapkan selamat Natal kepada
pemeluk Kristen. “Saya tiap tahun
memberi ucapan selamat Natal
kepada teman-teman Kristiani,”
katanya tahun 2005.
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa
juga membolehkan pengucapan
selamat Natal jika mereka bukan
termasuk orang-orang yang
memerangi kaum muslimin,
khususnya dalam keadaan kaum
muslimin sebagai kaum minoritas di
sebuah negara.
“Tidak dilarang bagi seorang
muslim atau Markaz Islam
memberikan selamat atas perayaan
ini, baik dengan lisan maupun
pengiriman kartu ucapan yang tidak
menampilkan simbol mereka atau
berbagai ungkapan keagamaan
yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip Islam seperti salib,”
tegasnya.
Ulama lain yang membolehkan
antara lain Dr. Abdus Sattar
Fathullah Sa’id (Universitas Al-
Azhar), Dr. Muhammad Sayyid
Dasuki (Univrsitas Qatar), Ustadz
Musthafa az Zarqo, serta Syeikh
Muhammad Rasyid Ridho.
Yang Mengharamkan
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim,
Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu
Utsaimin, Syeikh Ibrahim bin
Muhammad al-Huqoil, dan lainnya
berpendapat, mengucapkan selamat
Hari Natal hukumnya haram karena
perayaan ini adalah bagian dari
syiar-syiar agama mereka. Allah
tidak meridhai adanya kekufuran
terhadap hamba-hamba-Nya.
Fatwa ulama besar Arab Saudi,
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-
Utsaimin. Menurutnya,
mengucapkan Selamat Natal atau
mengucapkan selamat dalam hari
raya mereka (dalam agama) yang
lainnya pada orang kafir adalah
sesuatu yang diharamkan
berdasarkan kesepakatan para
ulama (ijma’ kaum muslimin),
sebagaimana dikemukakan Ibnul
Qoyyim dalam kitab Ahkamu Ahlidz
Dzimmah. Menurut Iblul Qayyim,
ucapan selamat hari raya kepada
mereka sama saja dengan kita
mengucapkan selamat atas sujud
yang mereka lakukan pada salib.
Syaikh Utsaimin juga mengatakan:
“Tidak diperbolehkan seorang
muslim pergi ke tempat seorang
pun dari orang-orang kafir, lalu
kedatangannya ke sana ingin
mengucapkan selamat hari raya,
walaupun itu dilakukan dengan
tujuan agar terjalin hubungan atau
sekadar memberi selamat (salam)
padanya. Karena terdapat hadits
dari Nabi Saw: “Janganlah kalian
mendahului Yahudi dan Nashara
dalam salam (ucapan selamat)
.” (HR. Muslim).
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah Arab
Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baz, juga
mengharamkan ucapan Selamat
Natal.
Hari raya orang-orang kafir identik
dengan agama mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Bahwasanya
hari-hari raya itu merupakan
bagian dari lingkup syariat, ajaran
dan ibadah….seperti halnya kiblat,
shalat dan puasa. Maka tidak ada
bedanya antara menyepakati
mereka didalam hari raya mereka
dengan menyepakati mereka
didalam segenap ajaran
mereka….bahkan hari-hari raya itu
merupakan salah satu ciri khas
yang membedakan antara syariat-
syariat (agama) yang ada. Juga
(hari raya) itu merupakan salah
satu syiar yang paling
mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil
Mustaqim hal. 292)
Setiap umat beragama memiliki hari
raya
Perkara ini disitir oleh Allah
didalam firman-Nya
ﻟِﻜُﻞٍّ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﺷِﺮْﻋَﺔً ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎﺟًﺎ ۚ
(artinya): “Untuk setiap umat
(beragama) Kami jadikan sebuah
syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48).
Bahkan dengan tegas Rasulullah
bersabda:
“Sesungguhnya bagi setiap kaum
(beragama) itu memiliki hari raya,
sedangkan ini (Iedul Fithri atau
Iedul Adha) adalah hari raya
kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi muncul sebuah
permasalahan tatkala kita
mengingat bahwa orang-orang kafir
(dalam hal ini kaum Nashrani) telah
mengubah-ubah kitab Injil mereka
sehingga sangatlah diragukan
bahwa hari raya mereka yaitu Natal
merupakan ajaran Nabi Isa ?.
Kalaupun toh, Natal tersebut
merupakan ajaran beliau, maka
sesungguhnya hari raya tersebut -
demikian pula seluruh hari raya
orang-orang kafir- telah dihapus
dengan hari raya Iedul Fithri dan
Iedul Adha. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah
mengganti keduanya (dua hari raya
Jahiliyah ketika itu-pent) dengan
hari raya yang lebih baik yaitu:
Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R
Abu Daud dengan sanad shahih)
SIKAP SEORANG MUSLIM
TERHADAP HARI RAYA ORANG-
ORANG KAFIR
Menanggapi upaya-upaya yang
keras dari orang-orang kafir
didalam meredam dan
menggugurkan prinsip Al Bara’
melalui hari raya mereka, maka
sangatlah mendesak untuk setiap
muslim mengetahui dan memahami
perkara-perkara berikut ini:
1. Tidak Menghadiri Hari Raya
Mereka
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin rahimahullah berkata:
“Berbaurnya kaum muslimin dengan
selain muslimin dalam acara hari
raya mereka adalah haram. Sebab,
dalam perbuatan tersebut
mengandung unsur tolong
menolong dalam hal perbuatan
dosa dan permusuhan. Padahal
Allah berfirman
ﻭَﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺒِﺮِّ ﻭَﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯٰ ۖ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ
ﻭَﺍﻟْﻌُﺪْﻭَﺍﻥِ ۚ
(artinya): “Dan tolong menolonglah
kalian dalam kebaikan dan
ketaqwaan dan janganlah kalian
tolong menolong didalam dosa dan
pelanggaran.” (Al Maidah:2)
Oleh karena itu para ulama
mengatakan bahwa kaum muslimin
tidak boleh ikut bersama orang-
orang kafir dalam acara hari raya
mereka karena hal itu menunjukan
persetujuan dan keridhaan terhadap
agama mereka yang
batil.” (Disarikan dari majalah Asy
Syariah no.10 hal.8-9)
Berkaitan dengan poin yang
pertama ini, tidak sedikit dari para
ulama ketika membawakan firman
Allah yang menceritakan tentang
sifat-sifat Ibadurrahman
(artinya): “(Yaitu) orang-orang
yang tidak menghadiri
kedustaan.” (Al Furqan:73)
mereka menafsirkan “kedustaan”
tersebut dengan hari-hari raya
kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/
….)
Lebih parah lagi apabila seorang
muslim bersedia menghadiri acara
tersebut di gereja atau tempat-
tempat ibadah mereka. Rasulullah
mengecam perbuatan ini dengan
sabdanya:
“Dan janganlah kalian menemui
orang-orang musyrikin di gereja-
gereja atau tempat-tempat ibadah
mereka, karena kemurkaan Allah
akan menimpa mereka.” (H.R Al
Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Tidak Memberikan Ucapan
Selamat Hari Raya
Didalam salah satu fatwanya, beliau
(Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
mengatakan bahwa memberikan
ucapan selamat hari raya Natal
kepada kaum Nashrani dan
selainnya dari hari-hari raya orang
kafir adalah haram. Keharaman
tersebut disebabkan adanya unsur
keridhaan dan persetujuan terhadap
syiar kekufuran mereka, walaupun
pada dasarnya tidak ada keridhaan
terhadap kekufuran itu sendiri.
Beliau pun membawakan ayat yaitu
ﺇِﻥ ﺗَﻜْﻔُﺮُﻭﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻏَﻨِﻲٌّ ﻋَﻨﻜُﻢْ ۖ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺮْﺿَﻰٰ ﻟِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ
ﺍﻟْﻜُﻔْﺮَ ۖ ﻭَﺇِﻥ ﺗَﺸْﻜُﺮُﻭﺍ ﻳَﺮْﺿَﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ۗ
artinya: “Bila kalian kufur maka
sesungguhnya Allah tidak butuh
kepada kalian. Dia tidak ridha
adanya kekufuran pada hamba-
hamba-Nya. (Namun) bila kalian
bersyukur maka Dia ridha kepada
kalian.” (Az Zumar:7).
Juga firman-Nya
ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺗْﻤَﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻧِﻌْﻤَﺘِﻲ
ﻭَﺭَﺿِﻴﺖُ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡَ ﺩِﻳﻨًﺎ
artinya: “Pada hari ini, Aku telah
sempurnakan agama ini kepada
kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku
kepada kalian dan Aku ridhai Islam
menjadi agama kalian.” (Al
Maidah:3)
Beliau juga menambahkan bahwa
bila mereka sendiri yang
mengucapkan selamat hari raya
tersebut kepada kita maka kita
tidak boleh membalasnya karena
memang bukan hari raya kita.
Demikian pula, hal tersebut
disebabkan hari raya mereka ini
bukanlah hari raya yang diridhai
Allah karena memang sebuah
bentuk bid’ah dalam agama asli
mereka. Atau kalau memang
disyariatkan, maka hal itu telah
dihapus dengan datangnya agama
Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3
dan Al Muntaqa min Fatawa Asy
Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan bahwa orang yang
mengucapkan selamat kepada
orang-orang kafir pada hari raya
mereka, kalaupun dia ini selamat
dari kekufuran maka dia pasti
terjatuh kepada keharaman.
Keadaan dia ini seperti halnya
mengucapkan selamat atas sujud
mereka kepada salib. (Ahkamu
Ahlidz Dzimmah)
3. Tidak Tukar Menukar Hadiah
Pada Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah mengatakan: “Telah
sampai kepada kami (berita)
tentang sebagian orang yang tidak
mengerti dan lemah agamanya,
bahwa mereka saling menukar
hadiah pada hari raya Nashrani. Ini
adalah haram dan tidak boleh
dilakukan. Sebab, dalam
(perbuatan) tersebut mengandung
unsur keridhaan kepada kekufuran
dan agama mereka. Kita
mengadukan (hal ini) kepada
Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’
Shiratil Mustaqim hal. 277)
4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk
Keperluan Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menegaskan bahwa
seorang muslim yang menjual
barang dagangannya untuk
membantu kebutuhan hari raya
orang-orang kafir baik berupa
makanan, pakaian atau selainnya
maka ini merupakan bentuk
pertolongan untuk mensukseskan
acara tersebut. (Perbuatan) ini
dilarang atas dasar suatu kaidah
yaitu: Tidak boleh menjual air
anggur atau air buah kepada
orang-orang kafir untuk dijadikan
minuman keras (khamr). Demikian
halnya, tidak boleh menjual senjata
kepada mereka untuk memerangi
seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil
Mustaqim hal.325)
5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktiv
itas Tertentu Yang Menyerupai
Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya
Mereka
Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu
Utsaimin mengatakan: “Dan
demikian pula diharamkan bagi
kaum muslimin untuk meniru
orang-orang kafir pada hari raya
tersebut dengan mengadakan
perayaan-perayaan khusus, tukar
menukar hadiah, pembagian permen
(secara gratis), membuat makanan
khusus, libur kerja dan
semacamnya. Hal ini berdasarkan
ucapan Nabi :
“Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum maka dia termasuk
kaum tersebut.” (H.R Abu Daud
dengan sanad hasan). (Majmu’uts
Tsamin juz 3)
Dosakah melakukan hal diatas
dalam rangka basa - basi
(mudahanah)
Selanjutnya didalam fatwa itu juga,
beliau mengatakan: “Dan
barangsiapa melakukan salah satu
dari perbuatan tadi (dalam fatwa
tersebut tanpa disertakan no 1,3
dan 4) maka dia telah berbuat dosa,
baik dia lakukan dalam rangka
bermudahanah, mencari keridhaan,
malu hati atau selainnya. Sebab,
hal itu termasuk bermudahanah
dalam beragama, menguatkan
mental dan kebanggaan orang-
orang kafir dalam
beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz
3)
Sedangkan mudahanah didalam
beragama itu sendiri dilarang oleh
Allah . Allah berfirman
ﻭَﺩُّﻭﺍ ﻟَﻮْ ﺗُﺪْﻫِﻦُ ﻓَﻴُﺪْﻫِﻨُﻮﻥَ
(artinya): “Mereka (orang-orang
kafir) menginginkan supaya kamu
bermudahanah kepada mereka lalu
mereka pun bermudahanah pula
kepadamu.” (Al Qalam:9)
Orang orang kafir bergembira bila
kaum muslimin ikut berpartisipasi
dalam hari raya mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Oleh karena
itu, orang-orang kafir sangat
bergembira dengan partisipasinya
kaum muslimin dalam sebagian
perkara (agama) mereka. Mereka
sangat senang walaupun harus
mengeluarkan harta yang berlimpah
untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil
Mustaqim hal.39).
Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment