Kyai Khoiron, sudah populer
sebagai kiainya para pelacur di
Surabaya.Sehari-hari ia menjadi
guru ngaji, konsultasn psikhologi
dan bapak, kakak, sahabat yang
sangat akrab dengan gemuruh jiwa
para pelacur yang bergolak. Dua
puluh tahun silam, diam-diam ia
dirikan sebuah pesantren di
komplek pelacuran terbesar di
Surabaya. Dan saat ini ada tujuh
ratus anak-anak pelacur itu nyantri
di pesantrennya.Jika senja mulai
tiba, gincu-gincu mengoles bibir
para pelacur itu,
Dengan segala sapaan manja pada
hidung belang, sementara suara
musik keras mendentang memenuhi
komplek pelacuran itu, di sudut
komplek pelacuran itu terdengar
suara bocah-bocah mengaji,
meneriakkan halawat Nabi dan
berzanji. Keduanya berjalan
damai.“Saya tidak pernah melarang
mereka melacur. Saya juga tidak
memarahi mereka. Saya hanya
menyiapkan ruang jiwa mereka.
Sebab mereka melacur paling lama
sepuluh tahun. Setelah? Mereka
pasti berhenti. Mereka perlu
kesiapan mental, keimanan dan
sikap optimis kepada Tuhan,”
Pesantren ini saya konsentrasikan
untuk membina anak-anak mereka
yang tak berdosa. Mereka harus
tumbuh dengan jiwa yang merdeka,
tanpa konflik, tanpa masa lalu dan
trauma-trauma.”
Sufi Kyiai Madun
Kiai Madun dari Madiun, sudah
dikenal sebagai seorang kiai
Thariqat dengan jama’ah ribuan.
Suatu hari ia tertimpa gejala
psikhologi yang begitu aneh: Rasa
takut mati yang berlebihan. Selama
enam bulan ia terus menerus
menangis, seakan-akan Malaikat
Maut membuntutinya. Ia juga heran
kenapa harus takut mati? Saking
takutnya, Kiai Madun mendatangi
guru Mursyidnya. Dengan serta
merta gurunya menyambut dengan
sambutan yang cukup
kontroversial. “Soal penyakitmu itu
gampang obatnya. Mulai besok
kamu pergi saja setiap hari ke
komplek pelacuran!”“Bagaimana
pak Kiai ini, kok saya malah harus
main-main dengan pelacur. Apakah
ini tidak bertentangan dengan
syari’at?” kata Kiai Madun dalam
hatinya.Belum sempat ia
meneruskan fantasinya, gurunya
sudah memotong:“Dun!, Lihatlah
mulutku ini!”Begitu melihat mulut
gurunya, yang tampak adalah
lautan luas tak bertepi. Kyai Madun
hanya terperangah. Diam-diam ia
menyesal. Kenapa soal-soal hakikat
kehidupan harus ia pertanyakan
lewat syariat kepada gurunya?
Diam-diam pula hatinya menangis.
Tapi juga muncul rasa ngeri,
kenapa harus main-main dengan
pelacur?Tapi Kyai Madun tidak mau
membantah perintah gurunya.Pagi-
pagi Kiai ini sudah menghilang dari
rumahnya. Ia cari komplek
pelacuran yang jauh dari
daerahnya. “Jalan penyembuhan”
ini ia lakukan hampir setiap hari,
sampai pelacur seluruh komplek itu
kenal benar dengan Kyai Madun.
Bahkan kadang, seharian penuh ia
berada di tengah para perempuan
penghibur itu, sambil mengingat-
ingat, apakah rahasia dibalik
perintah gurunya itu.Suatu pagi,
ketika ia datang ke komplek
langganannya, tiba-tiba ada kakek-
kakek tua, baru saja keluar dari
sebuah kamar pelacur. Ia sangat
kaget, melihat kakek yang sudah
uzur, dan mendekati ajal itu, masih
sempat ke komplek pelacuran.
Bahkan dengan wajah berseri, riang
gembira, layaknya anak muda, sang
kakek penuh percaya diri layaknya
anak muda.“Iya, ya. Kakek ini
sudah tua renta, kok tidak takut
mati. Bahkan ia jalani kehidupan
tanpa beban. Saya yang masih
muda kok takut mati. Kualitas iman
macam apa yang saya miliki ini?”
katanya Kiai Madun dalalam
hati.Dengan wajah terangguk-
angguk, Kiai Madun merasa
mendapat pelajaran dari Kakek tua
renta itu. Dan seketika pula rasa
takut matinya hilang begitu saja.
Sembuh!
Kyai Marwan, dari Nganjuk
Kiai ini sudah hampir mendekati
lima puluh tahun usianya, tetapi
masih membujang. Keinginan untuk
konsentrasi sebagai Kyai tanpa
menghiraukan urusan dunia
termasuk wanita, membuatnya
menjadi bujang lapuk. Tapi soal
kebutuhan penyaluran syahwat,
tetap saja mengusik setiap hari.
Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti
yang mneneruskan pesantrennya
kalau ia tidak punya putra?Dengan
segala kejengkelan pada diri sendiri
dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai
Marwan istikhoroh, mohon petunjuk
kepada Allah, siapa sesungguhnya
wanita yang menjadi jodohnya?
Petunjuk yang muncul dalam
istikhoroh, adalah agar Kyai
Marwan mendatangi sebuah
komplek pelacuran terkenal di
daerahnya. “Disanalah jodoh anda
nanti…” kata suara dalam istikhoroh
itu.Tentu saja Kyai Marwan
menangis tak habis-habisnya,
setengah memprotes Tuhannya.
Kenapa ia harus berjodoh dengan
seorang pelacur? Bagaimana kata
para santri dan masyarakat sekitar
nanti, kalau Ibu Nyainya justru
seorang pelacur? “Ya Allah…!
Apakah tidak ada perempuan lain di
dunia ini?”Dengan tubuh yang
gontai, layaknya seorang yang
sedang mambuk, Kyai Marwan
nekad pergi ke komplek pelacuran
itu. Peluhnya membasahi seluruh
tubuhnya, dan jantungnya berdetak
keras, ketika memasuki sebuah
warung dari salah satu komplek itu.
Dengan kecemasan luar biasa, ia
memandang seluruh wajah pelacur
di sana, sembari menduga-duga,
siapa diantara mereka yang menjadi
jodohnya.Dalam keadaan tak
menentu, tiba-tiba muncul seorang
perempuan muda yang cantik,
berjilbab, menenteng kopor besar,
memasuki warung yang sama, dan
duduk di dekat Kyai Marwan.
“Masya Allah, apa tidak salah
perempuan cantik ini masuk ke
warung ini?” kata benaknya.“Mbak,
maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok
datang kemari? Apa Mbak tidak
salah alamat?” tanya Kyai Marwan
pada perempuan itu.Perempuan itu
hanya menundukkan mudanya.
Lama-lama butiran airmatanya
mulai mengembang dan menggores
pipinya. Sambil menatap dengan
mata kosong, perempuan itu mulai
mengisahkan perjalanannya, hingga
ke tempat pelacuran ini. Singkat
cerita, perempuan itu minggat dari
rumah orang tuanya, memang
sengaja ingin menjadi pelacur,
gara-gara ia dijodohkan paksa
dengan pria yang tidak dicintainya.
“Masya Allah….Masya Allah…Mbak..
Begini saja Mbak, Mbak ikut saya
saja. …” kata Kiai Marwan, sambil
mengisahkan dirinya sendiri,
kenapa ia pun juga sampai ke
tempat pelacuran itu.Dan tanpa
mereka sadari, kedua makhluk itu
sepakat untuk berjodoh.Tiga Kiai
tersebut, sesungguhnya merupakan
refleksi dari rahasia Allah yang
hanya bisa difahami lebih terbuka
dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang
menjadi kiai para pelacur,
sesungguhnya wujud dari
kemerdekaan Sufistik pada
kepribadian seseorang yang berani
menerobos dinding-dinding
verbalisme kultur agama,
sebagaimana misteri Kyai Madun,
yang harus sembuh di komplek
pelacuran. Juga nasib bidadari
yang ditemukan Kiai Marwan di
komplek pelacuran itu. Semuanya
menggambarkan bagaimana dunia
jiwa, dunia moral, dunia keindahan
dan kebesaran Ilahi, harus direspon
tanpa harus ditimbang oleh fakta-
fakta normatif sosial yang
terkadang malah menjebak moral
seorang hamba Allah.Sebab tidak
jarang, seorang Kiai, sering
mempertaruhkan harga dirinya di
depan pendukungnya, ketimbang
mempertaruhkan harga dirinya di
depan Allah.Dan begitulah cara
Allah menyindir para Kiai, dengan
menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.
Kawanku semua yang dirahmati
Allah
Wafatnya para kyai adalah sebuah
duka yang mendalam, sebab kyai
adalah ulama yang meneruskan
perjuangan Rasulullah Saw.
Semakin banyak ulama yang wafat
artinya akan semakin sedikit para
penerus perjuangan Rasulullah
Saw.
Ulama dapat diinterpretasikan
berdasarkan tradisi dan geografis
(daerah). Di Jawa misalnya, ulama
identik dengan nama Kyai, di Nusa
Tenggara disebut Tuan Guru, di
suku Melayu disebut Datuk, di
Sumatra Barat disebut dengan
Buya, dan lain sebagainya, sama
halnya dengan predikat Ulama di
Timur Tengah dengan sebutan
Syaikh. Namun, meski Ulama
memiliki ‘nama lokal’ bukan berarti
semua pihak layak disebut ulama,
sebab nama-nama yang
diidentikkan dengan Ulama dalam
Islam tetap memiliki standar
kualifikasi sehingga seseorang
layak disebut ulama dalam konteks
lokalnya, sebagaimana yang akan
dijelaskan dalam bab berikutnya.
Ulama Pewaris Nabi
Telah disebutkan dalam hadis yang
sudah masyhur bahwa para ulama
adalah pewaris para Nabi,
sebagaimana sabda Nabi:
ﺇﻥ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺭﺛﺔ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﻮﺭﺛﻮﺍ ﺩﻳﻨﺎﺭﺍً ﻭﻻ
ﺩﺭﻫﻤﺎً ﺇﻧﻤﺎ ﻭﺭﺛﻮﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ،ﻓﻤﻦ ﺃﺧﺬﻩ ﺃﺧﺬ ﺑﺤﻆ
ﻭﺍﻓﺮ» ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ
Semoga bermanfaat
Pengertian islam,artikel islam,dunia islam,suara islam,berita islam,sumber hukum islam,pendeta masuk islam
analyticstracking.php
Sunday, 22 June 2014
KYAINYA PARA PELACUR
Labels:
Belajar Islam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment