analyticstracking.php

Monday, 12 May 2014

Renungan, Pantaskah Kita Tertawa Ria?


Pada suatu ketika di Hari Raya Idul
Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu
dengan sekelompok orang yang
sedang tertawa terbahak-bahak.
Melihat pemandangan itu, Ibn al-
Wardi menggerutu sendiri. Katanya,
”Kalau mereka memperoleh
pengampunan, apakah dengan cara
itu mereka bersyukur kepada Allah,
dan kalau mereka tidak memperoleh
pengampunan, apakah mereka tidak
takut azab dan siksa Allah?”
Kritik Ibn al-Wardi ini
memperlihatkan sikap kebanyakan
kaum sufi. Pada umumnya mereka
tidak suka bersenang-senang dan
tertawa ria. Mereka lebih suka
menangis dan tepekur mengingat
Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria
merupakan perbuatan tercela yang
harus dijauhi, karena perbuatan
tersebut dianggap dapat
menimbulkan ghaflah, yaitu lalai
dari mengingat Allah. Akibat buruk
yang lain, tertawa ria dapat
membuat hati menjadi mati, yang
membuat seseorang tidak dapat
mengenal Allah (Al-Zumar: 22),
tidak dapat menerima petunjuk (Al-
Baqarah: 7), dan mudah disesatkan
oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu
Perang Tabuk, orang-orang munafik
berpaling dan menolak berperang
bersama Nabi. Mereka justru
bersenang-senang dan tertawa ria
di belakang beliau. Tentu saja
mereka dikecam oleh Allah dan
diancam hukuman berat. Firman-
Nya, ”Katakanlah: Api neraka itu
lebih sangat panasnya jikalau
mereka mengetahui.
ALLAH menyampaikan, “Maka
hendaklah mereka tertawa sedikit
dan menangis banyak, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu
mereka kerjakan.” (Al-Taubah:
81-82). Ayat di atas, menurut pakar
tafsir al-Razi, datang dalam bentuk
perintah (al-amr), tetapi
mengandung makna berita (al-
khabar). Ayat tersebut bermakna
bahwa kegembiraan dan suka cita
orang-orang munafik itu
sesungguhnya sebentar, tidak lama,
lantaran kenikmatan dunia tidak
kekal alias terbatas. Sedangkan
duka dan penderitaan mereka di
akhirat justru berlangsung lama
dan terus-menerus, lantaran azab
dan siksa Tuhan di akhirat kekal
abadi alias selama-lamanya. Ini
berarti, setiap orang dihadapkan
pada dua pilihan yang bersifat
antagonistik, yaitu tertawa ria di
dunia, tetapi menangis di akhirat,
atau menangis di dunia, tetapi
riang gembira dan tersenyum di
akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi
pernah berpesan agar kaum Muslim
lebih banyak menangis daripada
tertawa ria. Katanya, ”Jikalau kalian
mengetahui apa yang kuketahui,
pastilah kalian sedikit tertawa dan
banyak menangis.” (HR Bukhari-
Muslim).
Di akhirat nanti, manusia akan
terbagi menjadi dua golongan saja.
Pertama, golongan yang bersuka
cita dan tertawa ria. Mereka itulah
para penghuni surga. Kedua,
golongan orang yang menderita dan
bermuram durja. Mereka itulah para
penghuni neraka. Allah berfirman:
”Banyak muka pada hari itu
berseri-seri, tertawa dan gembira
ria, dan banyak pula muka pada
hari itu tertutup debu dan ditutup
pula oleh kegelapan. Mereka itulah
orang-orang kafir lagi
durhaka.” (‘Abasa: 38-42).
Saudaraku yang dirahmati ALLAH,
Semua nasehat diatas adalah
cermin hidup seorang muslim yang
harus senantiasa bersahaja dalam
bersikap, seperti halnya Rasulullah
yang telah mencontohkannya pada
kita. Rasulullah saw mengajarkan
kita untuk selalu memberikan sikap
terbaik kita disaat bergaul dengan
orang disekitar kita, yaitu dengan
senyum ikhlas yang senantiasa
membawa bekas. berbeda dengan
tertawa ria yang menandakan
keleluasaan emosi yang berlebihan,
dan bisa mengakibatkan kelalaian.
Semoga kita termasuk golongan
orang yang dapat tertawa ria di
akhirat kelak. Amin.
sedikit renungan, semoga
bermanfaat.

No comments:

Post a Comment