analyticstracking.php

Sunday, 27 April 2014

Memeriksa Diri Ala Selfie

Walau selfie sejatinya sudah ada sejak seabad yang lalu,
Bahkan ada yang bilang ya sudah ada sejak jaman dulu,
Tetapi jika istilah ini dinobatkan sebagai istilah paling laku
Di kurun waktu 2013 yang lalu, bisa tak banyak yang tahu.
Singkat kata, selfie yang sejak dulu bukan hal yang tabu,

Sekarang tentu saja makin populer dan menggebu-gebu.
Ide baru, peralatan baru, gaya baru, laksana godam palu
Menggedor setiap sendi nurani dan bahkan relung kalbu.
Remaja? Yah jangan ditanya, mereka pelaku paling seru.
Sekarang ini remaja ya selfie, selfie ya remaja, berpadu.
Pria wanita eh sama saja, selfie dari rambut sampai kuku.
Itu remaja, lalu bagaimana yang rambutnya sudah kelabu?

Inilah hebatnya, diam-diam tapi mantap tanpa ragu-ragu
Mereka semua nyatanya selfie …dari hati sampai bulu.
He … he … he … diam-diam ini masyarakat dunia baru
Menambah lagi satu predikat baru setelah ‘klik’ menyatu
Yaitu selfie … masyarakat ‘klik dan selfie’ bersatu padu.
Pejabat dan politisi, wakil rakyat dan selebriti, selfie seru.
Maling dan perompak, pencuri dan pendusta, selfie batu.
Norak kampungan, elit kotaan,tengik bualan, selfie gebu
.
Bahkan ‘macaca nigra’ dari utara pulau ‘k’ tak kalah seru
Selfie, selfie, walau lensa hasil merebut sementara waktu.
Nah, senyampang idiologi baru sudah berpadu menyatu,
Rambahan pesonanya merasuk ke tulang sumsum kalbu
Sementara energinya, walau lembut tapi menggebu-gebu,

Dahsyat dan bahkan dirasa mampu menghentikan waktu,
Tak ada yang bisa dilaku, lalu mengapa tak arahkan palu
Gunakan budaya selfie guna petakan nurani kalbu prilaku?
Biarkan selfie terus menggebu-gebu, tapi rujukan pelaku
Tak lagi pada raga fisik, tidak lagi pada tampan atau ayu,
Tetapi gunakan selfie guna meneropong dasar inti kalbu.
Periksa diri inilah selfie para bijak,selfie sejati para guru.
Ayo berselfie, ayo periksa diri,sehingga tak lagi tipu-tipu,
Tipu hati tipu kalbu … ayo pakai selfie guna simak prilaku.

Berikut contoh, contoh selfie kala memotret penjuru kalbu,
Kala guratan pena waktu merambah ke zona panca dasa,
Kata apa lagi yang bisa disampai pada yang mahakuasa
Kecuali rasa terima kasih tidak terhingga atas ini karunia,
Dipercaya menyaksikan dunia beserta isinya begitu lama?
Memang banyak yang lebih lama,bahkan dulu, ini katanya,
Sampai seratus, dua ratus bahkan tiga ratus tahun usianya.
Tetapi jangan lupa yang lebih muda tak kurang jumlahnya.
Banyak juga yang hanya sebentar saja menghirup udara,

Eh … segera dipanggil pulang
menghadap mahapencipta.
Bahkan yang tak sempat apa-apa,
tak terbilang angkanya.
Jadi apalagi yang pantas dikata
kecuali rasa syukur mega?
Begitu juga dengan orang-orang
yang amat sangat dicinta,
Manakala sang mahapencipta
dengan lembut memintanya

Apalagi yang bisa dikata kecuali
serahkan dengan sukarela
Sambil lirih berbisik terima kasih
atas semua kasih karunia?
Kala harta hasil jerih payah sejak
muda eh tidak seberapa,
Hanya itu-itu saja dan nilainya
pasti bikin malu jika ditanya,
Tapi berkat selfie anjuran para
bijak, syukur jadi buahnya.
Memang banyak yang jauh lebih
melimpah ruah hartanya
Tetapi juga tidak kurang yang benar
tidak punya apa-apa.

Dibanding yang melimpah memang
tidak ada apa-apanya,
Tetapi bagaimana jika
pembandingnya mereka yang hina,
Yang papa, yang jangankan harta,
makan saja sering lupa?
Masihkah tak mau menerima pada
apa yang telah dikarunia?
Selfie jelas dan nyata, jadi picik,
bodoh atau apalah namanya
Jika masih saja menggerutu karena
miliki harta tak seberapa.
Cukupkanlah dengan apa yang ada,
maka kita pasti bahagia,

Bahkan seandainya memang tidak
ada … ya tidak apa-apa,
Karena dalam tidak ada apa-apa,
bahagia juga ada di sana.
Kala gelar, jabatan, dan bahkan
kerja, juga biasa-biasa saja.
Apakah merasa diabai oleh sang
maha karena hanya biasa?
Setelah diselfie eh malah
sebaliknya, luar biasa karena biasa.
Jika merasa hebat karena luar biasa
… itu kan tidak istimewa.
Yang istimewa menurut selfie saya,
merasa luar biasa karena
Sang maha nyatanya berkenan
memberi predikat yang biasa.
Gelar biasa, jabatan biasa, kerja
juga biasa, biasa-biasa saja.
Gelar doktor satu atau dua, bisa
saja terasa sangat istimewa

Bagi mereka yang tidak punya,
tetapi hendaknya jangan lupa,
Ada banyak yang sampai punya
lima plus guru besar segala,
Jadi apanya yang istimewa punya
gelar doktor satu atau dua?
Sama sekali tidak ada kecuali rasa
syukur atas titah karunia.
Begitu juga dengan jabatan dan
kerja, setelah diselfie merata
Hasilnya rasa syukur dan terima
kasih karena di dalam biasa
Selalu ada bahagia, bahagia kala
masih bisa merasa bahagia.
Kala cobaan datang menerpa silih
berganti halauan bahtera
Yang kami nahkodai berdua dengan
dia wanita setia tercinta.
Apa lalu merasa ditinggalkan sang
maha karena ini semua?

Kala gelora dan gelombang
samudera terus saja menerpa?
Setelah diselfie, jawabnya tidak dan
tidak dan tidak adanya.
Engkau tetap di dalam bahtera kami
berdua, dan tekadnya,
Tidak akan membuat Engkau terjaga
karena kami percaya.
Biarlah gelombang samudera itu
tenang dengan sendirinya.
Kami ingat satu cerita kala Engkau
hardik yang tak percaya
Karena menghadapi gelombang
saja, takutnya tidak terkira
Padahal engkau ada di sana walau
terlelap nikmati gelora.
Biarlah kami hadapi semua sang
maha karena apapun juga
Pasti kehendakMulah yang akan
terjadi, dan bukan lainnya.
Semoga dalam terlelap menikmati
alunan gelora samudera
KeagunganMu selalu dimuliakan
tak hentinya oleh isi dunia.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@
yahoo.com – Poznan, Polandia

No comments:

Post a Comment